Pancar.id – Kampus hendaknya menjadi wahana kepemimpinan bangsa. Kampus juga tidak boleh lagi seperti dulu, ketika ada aktivis masuk kampus, aparat intel mencurigainya sebagai tindakan makar. Sumber kepemimpinan kampus itu datang dari kampus, para intelektual muda dalam hal ini adalah mahasiswa.
Demikian disampaikan Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, Prof Dr Didik J Rachbini dalam Stadium General LK-1 HMI Universitas Paramadina Jakarta bertajuk “Peran Intelektual Muda/Mahasiswa Sebagai Episentrum Gerakan dalam Mencerdaskan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, Rabu 25 Januari 2023 lalu.
Pertama, dari kampus itu sendiri dan dari organisasi kemahasiswaan internal. Kedua datang dari aktivis kampus, seperti HMI, PMII, Muhammadiyah, NU, Kelompok Cipayung. Keduanya ini adalah aset bangsa yang saling melengkapi.
Jika dulu organisasi ekstra kampus tidak dibolehkan masuk kampus, maka sekarang organisasi intra dan ekstra kampus bisa bekerjasama untuk melakukan kegiatan-kegiatan di kampus, terutama di Universitas Paramadina, Jakarta.
Dulu organisasi ekstra masuk kampus itu dilarang dan dicurigai aparat, karena dikhawatirkan melakukan tindakan makar. Akan tetapi sekarang, mesti berperan dalam memperkuat NKRI. Jika ada persaingan kegiatan antar ormas ekstra kampus seperti HMI dan PMII, itu juga tidak apa-apa.
Malah kalau bisa melaksanakan kegiatan pelatihan kepemimpinannya bersama-sama dengan tujuan yang sama ,agar kampus bisa kembali wahana kepemimpinan bangsa. Untuk menjawab topik stadium general ini, lanjut Didik, maka harus dipertanyakan siapa intelektual itu atau siapa intelektual muda?
Jawabannya, dia adalah kelompok elit yang bertanggungjawab mengetahui serta paham dari dekat bagaimana kehidupan sosial politik dan ekonomi bangsanya. Bersifat elit, dikarenakan mayoritas pendidik masih berpendidikan SMA ke bawah. Di Indonesia sendiri terdapat sekitar 40 persen lulusan SD yang menjadi buruh-buruh pabrik.
Dari lulusan SD dan SMP itu juga ditambah lagi anak putus sekolah sehingga jumlahnya menjadi sekitar 60 persen atau dua per tiga dari jumlah SDM muda di Indonesia. Untuk level mahasiswanya juga hanya terhitung nol koma sekian persen dari jumlah total rakyat Indonesia.
Selain itu sebagai kelompok elit yang menjadi golongan intelektual efektif, ia bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan kolektif tertentu, misalnya gerakan penyelamatan lingkungan hidup, gerakan membaca, gerakan mendidik anak-anak, dan lain sebagainya.
Seperti dulu di Paramadina, ada kegiatan Indonesia Mengajar yang digagas oleh Anies Baswedan. Di mana yang ikut serta mengajar adalah kelompok mahasiswa untuk mengajar di pelosok Indonesia. Sebab, mahasiswa itu punya kemampuan-kemampuan tertentu.
Baca: Meresapi 13 Pertanyaan untuk Tiga Nama
Para intelektual bergerak dengan pemikiran-pemikiran yang terisi oleh pengetahuan. Terlebih lagi intelektual muda di kampus yang akan mengisi bidang-bidang kehidupan sosial politik dan ekonomi nanti. Selain itu, kelompok intelektual juga mempunyai wawasan dan pengetahuan yang kompleks, baik itu pengetahuan teknis dan mekanis, arsitek, budaya, seni, kedokteran dan lainnya.
Selanjutnya kelompok intelektual itu juga terkadang dipersempit secara khusus menjadi sosok intelektual seperti Nurcholish Madjid yang menjadi pemikir bangsa. Kelompok ini terbilang aktif dalam pemikiran masalah bangsanya dan kerap menulis di media-media nasional seperti Kompas dan lainnya.
Tak hanya itu saja, dosen dan profesional lain seperti arsitek juga bisa dimasukkan sebagai golongan intelektual. Ada banyak peranan intelektual yang berbeda-beda sesuai kategorinya. Peran pertama adalah peranan profesional, jika seseorang sudah lulus menjadi Sarjana, maka dia akan menjalankan peran-peran profesional sesuai bidang keahliannya.
Peranan-peranan tersebut tentunya sangat tradisional, konservatif, bahkan cenderus biasa saja dan tidak punya elan khusus serta hidupnya mengalir saja. Lain halnya dengan golongan intelektual cendekia. Pasalnya dia harus punya kepekaan terhadap situasi sosial politik ekonomi di sekitarnya.
Kemudian yang kedua, peranan intelektual yang lebih dalam itu juga telah disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai mereka yang selalu membaca dengan jeli ayat Kauniyah dan ayat-ayat Kauliyah, serta dengan rajin menyimak tanda-tanda alam sekitar. Pendeknya, mereka pun menjadi intelektual yang curiosity terhadap kehidupan alam semesta, sosial dan peradaban.
Selain itu, mereka juga akan aktif di berbagai bidang riset, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seterusnya. Itulah yang merupakan kelompok intelektual yang mempunyai peran lebih dibandingkan dengan hanya menjalankan peran profesionalnya saja.
Adapun peran ketiga, di negara berkembang seperti Indonesia, tentunya peran intelektual ini menjadi sesuatu hal yang sangat penting, dan biasanya mereka adalah kelompok muda yang belum mapan.
Alasannya dikarenakan dia melihat secara dalam sistem sosial politik di sekitarnya selalu timbul masalah. Sehingga dia akan menemui adagium “Power Tends to Corrupt, but Absolute Power Corrupt Absolutely..!”.
Ada teori evolusi kekuasaan dari pemenang nobel bidang ekonomi dan evolusi atau asal mula kekuasaan itu sebenarnya bermula dari sekumpulan bandit pada zaman dahulu kala.
Orang yang berkuasa sebelum ada sistem pemerintahan pada suatu masyarakat, adalah mereka yang mempunyai kekuasaan, keunggulan fisik, memiliki aneka senjata, postur tubuh yang kuat dan besar, punya kelompok garang, dan lainnya.
Hal itulah yang oleh Olson, pemenang nobel ekonomi adalah tahap Pertama dari evolusi Kekuasaan. Jadi penguasa di zaman itu adalah para bandit dan perompak, sebagai evolusi pertama kekuasaan atau dinamakan Roupin.
Namun di antara kelompok pengganas tersebut, ada sekelompok kecil bandit yang berpikir bahwa jika seterusnya menjadi kelompok perompak, maka lama kelamaan kekerasan juga akan menimpa dirinya.
Maka dari itulah, mereka pada akhrinya membentuk sistem sosial yang lebih maju sebagai evolusi Kedua dari Kekuasaan yakni dengan menjalankan sistem Upeti kepada masyarakat. Dengan mengambil upeti, mereka bisa tumbuh dengan menetap dan bercocok tanam di suatu tempat misalnya dengan bermodalkan upeti benih padi atau biasa disebut dengan Stationary Bandits.
Baca: Papuan Lives Matter: Wacana ‘Menegarakan’ Papua
Adapun evolusi kekuasaan ketiga, baru muncul Rule of Law dengan pintu filsafat, hak asasi manusia, sistem hukum dan lainnya. Pada eveolusi kekuasaan ketiga ini, para bandit bermetamorphose menjadi Negarawan karena mengikuti rule of law, peradaban modern, dan humanis.
Jadi asal muasal negarawan atau politisi di dalam kekuasaan itu bermula para bandit yang berevolusi. Sehingga jika dia bertindak melanggar hukum yang ada, maka negarawan itu pun akan menjadi bandit lagi. Sementara untuk para anggota parlemen, polisi yang melanggar hukum disebut dengan legal bandits.
Para kepala desa yang menginginkan perpanjangan jabatan dan berkolusi dengan partai-partai itu juga bisa disebut kolusi bandit. Lebih jauh, jika terus saja begitu, maka Indonesia tidak akan lepas dari sistem Feodal Sempurna. Sebab kolusi itu terjadi karena tidak adanya “check and balance” dari kekuasaan dan legislatif.
Berkaitan dengan situasi itu, maka peran intelektual muda kritis seperti para mahasiswa menjadi hal yang sangat penting. Demo BEM kampus yang menolak perpanjangan periode jabatan para Lurah. Itu juga merupakan tugas para intelektual kritis kampus.
Begitu juga dengan aksi yang menolak revisi UU KPK yang hendak diubah oleh mereka yang menjalankan peran bandit politik. Tidak adanya “check and balance” di parlemen bisa menjadi mungkin terjadi karena 82 persen anggota legislatif itu adalah mereka yang pro kekuasaan.
Selain itu, peran intelektual kritis di parlemen juga sudah tidak ada lagi dikarenakan semuanya telah terkooptasi oleh kekuasaan. Jadi, peran intelektual kritis itu tidak hanya sekadar menjalankan tugas-tugas profesionalnya saja, akan tetapi juga dia akan mengkritisi, membela, dan menyuarakan pembelaan terhadap mereka yang tertindas oleh sistem kekuasaan.
Akan tetapi jika sikap kritisismenya menjadi terlalu berlebihan dengan keinginan menumpas segala apapun, maka intelektual tersebut akan berubah menjadi penganut Marxisme yang sangat radikal dan berbahaya. Seperti halnya yang terjadi di Kamboja semasa rezim Pol Pot.
Keempat adalah peran intelektual kritis yang juga pemikir. Selain dengan daya kritisismenya ditambah dengan kemampuan pemikirannya, dia juga akan berjuang untuk selalu menyumbangkan gagasan-gagasan penting yang dipersembahkan bagi kebaikan bangsanya.
Seperti halnya Cak Nurcholish Madjid yang merupakan typology ideal dari intelektual tipe Keempat dengan gagasan Islam, Keindonesiaan dan Kemodernan. Jadi, peranan intelektual muda seperti mahasiswa sekarang adalah bertanggungjawab dalam menyuarakan kebenaran.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini: