Pancar.id, Jakarta – Sudah bukan rahasia umum lagi jika Jakarta saat ini memang terkenal sebagai kota metropolitan yang menjadi pusat bisnis.
Tak hanya dihiasi oleh banyaknya gedung-gedung pencakar langit khas perkotaan, wilayah yang dulunya dikenal dengan nama Batavia ini juga menjadi permukiman bagi lebih dari 10 juta jiwa. Hal inilah yang pada akhirnya membuat Jakarta menjadi kota yang sangat padat.
Bahkan saking padatnya, seakan sudah sulit lagi membayangkan jika daerah ini masih memiliki lahan kosong, apalagi wilayah perkebunan. Akan tetapi tentunya dulu Jakarta tidak sepadat sekarang, khususnya di wilayah-wilayah pinggir kota.
Bahkan, Jakarta juga ternyata memiliki buah yang menjadi komoditas khas kotanya. Ya, Jakarta sendiri mempunyai satu buah khas bernama “salak condet” atau yang juga dikenal sebagai “salak meneer”. Namun sayangnya, kini buah tersebut sudah semakin langka di pasaran.
Diketahui, salak condet ini mempunyai aroma yang harum berpadu dengan rasa manis asam dan sepat yang seimbang. Meskipun begitu, cita rasa asam yang muncul pada buah ini juga tidak terlalu asam, dan rasanya segar ketika dikunyah.
Di sisi lain, salak condet ini juga memiliki tekstur dan kerenyahan yang pas dengan isi daging yang lebih tebal dari salak di pasaran pada umumnya. Sesuai dengan namanya, kebun-kebun salak ini sendiri bisa sangat mudah ditemui di wilayah Condet, Jakarta Timur.
Disana, warga-warga sekitar pun banyak yang mengandalkan hidupnya dari panen salak ini, bahkan di wilayah pekarangan rumah-rumah mereka juga turut ditanami buah yang satu ini. Biasanya, hasil panennya ini akan diserahkan ke pusat buah Pasar Minggu.
Dulu panen salak condet memang terbilang sangat baik. Bahkan, dari lahannya yang mencapai 300 hektare, bisa memproduksi salak hingga 300 ton per tahunnya. Kemudian untuk jumlah rumpun pohonnya juga saat itu mencapai lebih dari 1,6 juta pohon.
Sayangnya, seiring berkembangnya zaman, Condet pun berubah menjadi wilayah permukiman padat penduduk. Akibatnya, lahan untuk menanam salak pun semakin berkurang hingga warga mulai melepaskan budidaya salak sebagai sumber pemasukannya.
Baca: Peran Kakao dalam Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Secara perlahan, salak condet ini juga mulai hilang dari pasaran. Padahal, salak ini sendiri dulunya sempat menjadi favorit banyak orang ketika datang ke pedagang buah. Sementara itu, jika dilihat secara geografis, wilayah Condet memang berada di dekat Sungai Ciliwung.
Dulu, kondisi sungai itu tentunya tidaklah seperti sekarang. Inilah yang membuat tanah di sekitarnya menjadi subur. Bahkan kala itu, tuan tanah asal Belanda, Willem Vincent Helvetius van Riemsdjik pun sampai tertarik dengan tanah di wilayah Condet.
Pada akhirnya ia pun memutuskan untuk membeli tanah di wilayah Condet dan membukanya menjadi lahan pertanian dan perkebunan untuk berbagai jenis tanaman. Selain itu, pupuk dan perawatan untuk tanaman-tanamannya juga ia berikan secara maksimal secara organik.
Sehingga membuat hasilnya pun sangat subur dan buah-buah hasil panenannya juga memiliki kualitas yang terbaik, termasuk salah satunya adalah salak. Sejak saat itulah, salak condet menjadi primadona hingga para pejabat dan bangsawan saat itu sangat senang mengonsumsi salak condet.
Dikarenakan salak condet ini dianggap sebagai flora khas yang punya nilai sejarah bagi Jakarta, maka pada 1989-an, Gubernur Ali Sadikin menetapkannya sebagai maskot dari DKI Jakarta, bersamaan dengan elang bondol melalui Keputusan Gubernur Nomor 1796 Tahun 1989.
Selain itu, jika Anda pernah melihat bus Transjakarta yang dulu, disana akan ada gambar elang yang membawa buah di kakinya, dan sebenarnya itu adalah salak condet. Tak hanya itu saja, di beberapa wilayah juga terdapat patung elang yang membawa salak ini.
Agar buah tersebut tidak semakin langka dipasaran, kini upaya untuk budidaya salak asal Condet semakin gencar dilakukan. Salah satunya adalah dengan pembukaan Cagar Buah Condet pada 2007 lalu.
Kendati sempat terbengkalai selama beberapa tahun, akan tetapi pada 2013 pemerintah pun mulai mempekerjakan orang untuk meningkatkan perawatan dan konservasinya. Bahkan pada 2016, fasilitas pun semakin digencarkan.
Mulai dari rumah benih, penataan tempat, serta penerangan yang lebih baik pun dibuat. Hal ini tentu menjadikannya sebagai alternatif wisata apabila ada yang hendak berkunjung untuk melihat bagaimana tanaman warisan masyarakat Betawi pada zaman dahulu ini tumbuh.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini: