Judul: ‘Menegarakan’ Tanah dan Darah Papua
Penulis: Laksmi A. Savitri, dkk
Penerbit: Insist Press
Terbit: 2020
Halaman: 275
Pancar.id – Membicarakan Papua berarti juga membincang kemanusiaan dan kenegaraan. Sebab sebagaimana diketahui, isu Papua berkelit kelindan dengan rasisme yang menjadi sumber kefrustasian rakyat asli Papua menjadi Indonesia; termasuk konflik agrarian, eksploitasi hutan, serta permasalahan tambang
‘Menegarakan’ Tanah dan Darah Papua ini ditelurkan Insist Press sebagai jurnal seri Wacana ke-38. Begitu membaca tajuknya, barangkali akan terbesit dalam benak pembaca perihal diksi dalam tanda petik. ‘Menegarakan’. Apakah maksudnya menegarakan Papua menjadi negara baru atau menegarakan (state-making) Indonesia di wilayah Papua? Jawabannya mungkin bisa disederhanakan dengan memilih pilihan pertama atau kedua. Namun rasanya tidak dapat dijawab sesederhana itu, Ferguso.
Bagi saya yang awam, kompleksitas pada judul dan topiknya terasa lebih berat dibanding bobot rindu yang disuarakan Dilan. Penerbit pun sudah memberi pengingat di belakang cover, ‘Wacana edisi ini bermaksud membangun diskusi…’ dan memang benar, buku ini menjadi topik yang menarik untuk didiskusikan bersama teman-teman.
Sebagai pembaca buku ini, saya diharuskan mundur ke belakang, mengkaji topik ini dari awal. Bermula dari bioantropologis Melanesia-Austronesia. Hal tersebut selaras dengan apa yang tertuang di dalam buku ini, ‘Secara historis, konstruksi sosial tentang ras yang berasal dari perbedaan biologis manusia telah memosisikan Papua berbeda dengan wilayah dan penduduk Nusantara sejak pemerintahan kolonial Belanda sampai hari ini.’ (Halaman 7)
Baca: Pancar Cinta di Tanah Sukapura; Cerita yang Belum Usai
Hasil analisa Dr. Veronika Kusumaryati, antropolog Harvard University, tentang pelembagaan adat yang diletakkan pada awal bab merupakan langkah yang tepat. Dimana setidaknya sisi historis yang dibahas di sana memberikan sedikit pemahaman, juga sebagai langkah awal, untuk memahami dan melangkah pada kajian berikutnya.
Topik utama pada bab kasus di buku ini berisi seputar reforma agraria. Kajian mengenai hal tersebut ditulis dari kacamata sosio-antropologis; yang memiliki dua sisi selayaknya sebuah koin. Quasi reform dan good deeds pada satu sisi, dan sebaliknya pada sisi yang lain.
Di akhir buku, terdapat sebuah rehal yang mengupas buku Papoea: Een geschiedenis karya Dirk J. Vlasblom, antropolog sekaligus mantan koresponden NRC Handelsblad di Indonesia (1990-1996 dan 1999-2005). Karyanya dilengkapi historiography corpus Papuana, foto dokumenter langka (dalam edisi kedua), juga beberapa petroglif dan jejak artefak sebagai sisa arkeologis yang direkonstruksi oleh penulis.
Saya rasa, rehal ini sengaja diletakkan sebagai appetiser manis karena pembaca berhasil melahap main course yang sangat ‘mengenyangkan’. Bukan ranah saya untuk berkomentar soal isu Papua, namun secara keseluruhan, buku ini sistematis, bermutu, dan saya rasa benar-benar cocok dijadikan bahan diskusi sewaktu nongkrong di kedai kopi.
Silakan tonton berbagai video menarik di sini: