Pancar.id – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menunjukkan komitmen kuat dalam melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat hukum adat (MHA) di Indonesia. Hingga kini, 23 dari 27 komunitas MHA yang tersebar di enam provinsi telah diakui secara resmi melalui peraturan bupati atau wali kota.
Pengakuan ini merupakan langkah penting dalam fasilitasi pengakuan dan perlindungan MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut, Victor Gustaaf Manoppo, menekankan bahwa pengakuan terhadap MHA di Indonesia telah diatur dalam Pasal 18B Ayat 2 pada Amandemen Kedua UUD 1945.
Pasal ini menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini ditegaskan kembali dalam Forum Adat 2024 yang digelar di Jakarta baru-baru ini.
Victor juga menjelaskan bahwa penguatan MHA dapat dicapai melalui sinergi dan harmonisasi antara kementerian, lembaga, dan seluruh pemangku kepentingan.
“Dukungan dan kerja sama lintas sektor, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta kolaborasi dengan akademisi, praktisi, dan pelaku usaha, merupakan kunci dalam penguatan MHA di Indonesia,” ujar Victor dalam pernyataan resminya di Jakarta pada Rabu, 21 Agustus 2024.
KKP sangat mendorong penyebarluasan informasi tentang perlindungan dan pemajuan hak-hak MHA kepada seluruh pihak terkait. Di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, MHA dikenal dengan berbagai sebutan seperti Sasi, Mane’e, Ombo, Egek, dan Kera-kera.
“KKP akan terus melanjutkan program perlindungan dan penguatan MHA, dengan tujuan menciptakan komunitas MHA yang kuat, sejahtera, dan mandiri,” tegas Victor.
Baca: KKP Optimistis Peningkatan Pengelolaan Garam di Sabu Raijua
Selain itu, KKP telah menyalurkan 48 paket bantuan pemerintah kepada 22 komunitas MHA. Delapan di antaranya telah menerima program peningkatan kapasitas dalam bidang perikanan tangkap, budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan wisata bahari. Langkah ini merupakan bagian dari upaya KKP dalam memperkuat dan memberdayakan MHA di seluruh Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Muhammad Ilman, mengungkapkan bahwa YKAN telah bekerja sama dengan masyarakat adat sejak tahun 2020.
Sebagai mitra pembangunan, YKAN berkomitmen untuk terus memberikan dukungan kepada pemerintah dan masyarakat adat guna memastikan pengelolaan sumber daya alam tetap lestari.
“Masyarakat adat adalah garda depan pelestarian sumber daya alam karena mereka memiliki kedekatan spiritual dan budaya dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Hampir seluruh keanekaragaman hayati yang tersisa di Indonesia berada di wilayah yang dijaga oleh masyarakat adat,” ujar Ilman.
Sementara itu, Direktur Yayasan Pesisir Lestari (YPL), Dina D. Kosasih, menambahkan bahwa masyarakat pesisir dengan pengetahuan dan pengalaman turun-temurun dalam mengelola ekosistem dan sumber daya alam merupakan pihak yang paling tepat dan efektif dalam menjaga kelestarian wilayah pesisir Indonesia.
Inisiatif yang dipimpin oleh masyarakat terbukti menumbuhkan rasa kepemilikan dan pemberdayaan, sehingga masyarakat dapat memiliki kendali atas sumber daya mereka. Dalam Forum Adat 2024, berbagai mitra kerja sama dalam penguatan MHA turut membagikan dokumentasi dari inisiatif pengelolaan laut kolaboratif yang dilakukan oleh MHA, masyarakat lokal, dan pemerintah desa.
“Kami yakin kolaborasi multipihak, yang melibatkan pemerintah, masyarakat pesisir, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, serta sektor swasta, adalah kunci utama keberhasilan dalam pengelolaan dan pelestarian ekosistem pesisir,” pungkas Dina.
Pada tahun 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusung tema “Protecting the Rights of Indigenous Peoples in Voluntary Isolation and Initial Contact”, yang menekankan pentingnya perlindungan dan pengakuan hak MHA dalam menjalankan pola kehidupan yang diwariskan secara turun-temurun serta dalam melaksanakan praktik kearifan lokal di wilayah mereka.
Kebijakan ini sejalan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang semakin memperkuat kedaulatan MHA atas wilayah kelola adat mereka, termasuk Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut yang hanya dapat diberikan di wilayah MHA setelah mendapat persetujuan dari MHA itu sendiri.