PANCAR.ID – Dekade terakhir ini, dunia menghadapi krisis iklim yang semakin parah, berdampak luas terhadap kehidupan di bumi. Krisis ini sebagian besar disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia.
Untuk mengurangi dampak dan risiko dari kerusakan alam, berbagai negara, termasuk Indonesia, semakin gencar berupaya memperbaiki kondisi tersebut melalui kebijakan-kebijakan berkelanjutan di berbagai forum internasional.
Salah satu langkah penting yang diambil adalah pengurangan emisi karbon dan pembatasan suhu global, melalui Perjanjian Paris. Selain kebijakan teknis dan ilmiah, terdapat juga pendekatan berbasis spiritualitas, seperti konsep green theology (ekoteologi), yang diperkenalkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar.
Apa itu Green Theology?
Green theology atau ekoteologi adalah suatu pendekatan yang mengkaji hubungan antara agama dan alam. Konsep ini menekankan pentingnya keseimbangan antara Tuhan, manusia, dan alam, yang saling terhubung secara sistemik.
Dalam pandangan ekoteologi, manusia berperan sebagai khalifah atau penjaga alam yang diberi amanah oleh Tuhan untuk menjaga kelestarian bumi.
Baca: Meta Gencarkan Perlindungan Online dengan Fitur Anti-Sekstorsi
Menurut ulama asal Turki, Said Nursi, manusia adalah makhluk yang tak terpisahkan dari alam. “Alam menyediakan segala kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia, seperti air, udara, dan tanah,” katanya.
Oleh karena itu, manusia tidak boleh merusak alam yang merupakan bagian dari amanah Tuhan. Kerusakan alam, dalam konteks ini, berarti manusia gagal menjalankan tugasnya sebagai penjaga bumi.
Menteri Agama, Nasaruddin Umar menekankan bahwa agama memiliki peran penting dalam aksi nyata untuk menjaga bumi sebagai amanah Tuhan. Ekoteologi dianggap dapat menjadi solusi bagi tantangan lingkungan yang semakin serius. “Agama dan spiritualitas dapat memandu umat manusia untuk lebih menghormati dan merawat alam,” ujarnya.
Selain itu, dengan mengedepankan rasa saling menghormati antar agama, green theology dapat memperkuat solidaritas untuk menghadapi isu lingkungan global bersama-sama.
Melalui pendekatan ini, Nasaruddin optimis bahwa umat manusia, tanpa memandang latar belakang agama, bisa bersatu untuk menjaga bumi dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Dengan bekerja bersama-sama dengan hati, semua agama memiliki kesamaan tujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan bagi generasi mendatang.