Pancar.id – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akhirnya berhasil merampungkan 100 persen pekerjaan pembangunan satelit nano Surya Satellite-1, setelah melalui proses rancang bangun dan pengujian yang telah dilakukan sejak 2016.
Rencananya, satelit yang juga dikenal sebagai cubesat atau satelit kubus itu akan segera mengorbit pada ketinggian 400 kilometer di atas permukaan bumi.
Selain itu, satelit seberat 10 kilogram berukuran 10 centimeter x 10 centimeter x 10 centimeter pada kuartal ketiga atau keempat 2022 berada pada orbit di Stasiun Antariksa Internasional (International Space Station/ISS).
Dilansir dari laman Indonesia.go.id, peluncurannya sendiri akan dilakukan oleh Badan Eksplorasi Dirgantara Jepang (Japan Aerospace Exploration Agency/JAXA) dengan menggunakan salah satu dari tiga opsi kargo antariksa, yaitu SpaceX Dragon, Cygnus, atau H-II Transfer Vehicle (HTV).
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN, Wahyudi Hasbi mengatakan, pengembangan riset SS-1 ini merupakan hasil kolaborasi dari berbagai pihak di dalam negeri. Salah satunya hasil kolaborasi dengan Center for Robotics and Intelligent Machine (CRIM) Universitas Carolina Utara, Amerika Serikat.
“Pengembangan satelit ini juga turut menghasilkan beberapa publikasi internasional, hak kekayaan intelektual (HKI), pemagangan mahasiswa, termasuk juga penggunaan HKI hasil dari Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN,” kata Wahyudi dalam siaran persnya belum lama ini.
Pemerintah juga dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) turut memberikan dukungan bersama Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI) dan keterlibatan pihak swasta seperti PT Pudak Scientific dan PT Pasifik Satelit Nusantara.
Tercatat, satelit mini ini merupakan hasil karya sepenuhnya dari para mahasiswa Surya University dengan bimbingan peneliti-peneliti antariksa di Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN.
“Pelepasan satelit dari ISS ke orbit itu akan dilaksanakan kurang lebih satu bulan setelah tiba di ISS,” kata salah satu tim perancang SS-1, Hery Steven Mindarno sebagaimana dikutip dari keterangan dalam situs BRIN.
Hery juga tidak sendirian, karena dirinya tergabung dalam tim beranggotakan M Zulfa Dhiyaulfaq, Suhandinata, Setra Yoman Prahyang, Afiq Herdika Sulistya, dan Roberto Gunawan. Mereka semua dibimbing oleh Sunartoto Gunadi yang merupakan Guru Besar Fisika Energi, serta pakar robotik, Riza Muhida PhD.
Hery juga menyebutkan, saat ini pihaknya tengah melengkapi safety document report untuk diserahkan kepada JAXA selaku peluncur satelit. Setelah dokumen itu disetujui, satelit pun baru bisa diserahterimakan kepada JAXA untuk diinspeksi dan diintegrasikan dengan sistem peluncur.
Baca : Mengenal Febri, Elang Flores yang Dilindungi
Tak hanya itu saja, Tim SS-1 juga telah melakukan Satellite Fit Check Test bersama JAXA dan United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) di Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN.
UNOOSA dan JAXA itu memasukkan proyek SS-1 dalam putaran ketiga KiboCUBE yaitu sebuah inisiatif kepada lembaga pendidikan dan penelitian di negara-negara berkembang kesempatan untuk menyebarkan satelit kubus dari ISS.
Selain itu, pengujian ini dilakukan untuk memastikan ukuran satelit sesuai dengan ukuran Japanese Experiment Module Small Satellite Orbital Deployer (JSSOD) yang ada di ISS. Selain itu juga, Satellite Fit Check Test juga berguna untuk memastikan tidak ada interferensi mekanik.
“Pengujiannya sendiri berlangsung sekitar 15 menit, dan hasilnya Surya Satellite-1 telah lolos dari pengujian. Setelah ini, akan ada Sharp-Edge Test untuk memastikan tidak ada sisi luar satelit yang tajam dan berpotensi melukai astronot,” tutur Steven.
SS-1 juga telah lolos berbagai pengujian lainnya seperti Functional Test, Vacuum Test, Thermal Test, Vibration Test, Battery Test, serta Payload and Communication Test.
Steven menjelaskan bahwa misi SS-1 adalah Automatic Packet Reporting System (APRS) yang berfungsi sebagai media komunikasi via satelit dalam bentuk teks singkat. Teknologi ini sendiri dapat dikembangkan untuk mitigasi bencana, transfer data, pemantauan jarak jauh, dan komunikasi darurat.
Satelit itu juga dapat difungsikan sebagai pelacak posisi kendaraan, pejalan kaki, kapal nelayan, dan titik panas saat kebakaran hutan. Dalam kaitannya untuk penelitian, satelit tersebut dapat digunakan sebagai sarana komunikasi semua laboratorium penelitian di universitas-universitas serta semua amatir radio di Indonesia.
Diketahui, Proyek SS-1 dimulai pada 2016 lalu dengan diawali Workshop Ground Station bersama ORARI. Mock-up satelit pun rampung pada tahun 2018 dengan misi komunikasi amatir. Setra, selaku ketua tim SS-1, mengatakan bahwa biaya pembuatan satelit nano adalah sekitar Rp3 miliar termasuk juga bantuan komponen satelit dari pihak PSN.
Sementara itu, Menkominfo Johnny G Plate dalam konferensi pers peluncuran satelit nano di Jakarta, 25 Oktober 2021 lalu, mengatakan bahwa pemerintah mendukung secara sungguh-sungguh inovasi satelit di Indonesia. Karena hingga 2030 mendatang, dibutuhkan juga kapasitas satelit sekitar 900 gigabyte (GB)-1 terabyte (TB) per second dari saat ini 50 GB per second yang dipasok dari 9 satelit, yakni dipasok 5 satelit telekomunikasi nasional dan menyewa pada 4 satelit asing.
Indonesia juga dikabarkan sedang menyiapkan Satria-1, satelit berkapasitas 150 TB per second. “Dengan kebutuhan sebesar itu, maka diperlukan orkestrasi kebijakan yang konsisten sehingga Indonesia tidak tertinggal dalam riset dan pengembangan satelit termasuk satelit nano,” kata Johnny.
Kemkominfo sebagai pengguna teknologi satelit juga turut mendukung pengembangan satelit nano yang tak kalah penting dibandingkan satelit besar lainnya. Tak hanya itu saja, Kemkominfo turut membantu menerbitkan perizinan filling orbit satelit pada International Telecommunication Union (ITU) untuk SS-1.*
Baca pula : Jurus Pemerintah Pastikan Kelancaran Distribusi Minyak Goreng Curah