Pancar.id – Gili Iyang tak hanya berkisah mengenai kehebatannya dalam menghadirkan kualitas udara bersih dengan kadar oksigen yang bagus, sehingga berjuluk Pulau Oksigen.
Pulau seluas 9,15 kilometer persegi dengan jumlah penduduknya sebanyak 7.832 jiwa berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2020 dari Badan Pusat Statistik tersebut juga diketahui memiliki pesona alam yang tak kalah memesona.
Setidaknya terdapat sejumlah objek wisata yang tak kalah serunya di sekitar pulau yang berada di Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, atau sebelah timur Pulau Madura tersebut. Contohnya, objek wisata penelusuran gua, dan dikarenakan di Gili Iyang terdiri dari dua desa, maka terdapat sekitar 10 gua yang ada disana.
Diketahui, kesepuluh gua itu masing-masing sebanyak tujuh buah gua ada di Desa Banraas dan tiga sisanya ada di Desa Bancamara. Salah satu guanya itu bernama Mahakarya.
Berdasarkan penuturan pemandu lokal bernama Ali, gua yang ada di perut bumi Gili Iyang itu memiliki luas sekitar 800 meter persegi. Gua itu pertama kali ditemukan pada tahun 2014 dan pada awalnya gua itu menjadi tempat bersembunyinya hewan celeng atau babi hutan.
Dilansir dari indonesia.go.id, oleh karena itulah, gua tersebut juga dikenal sebagai Gua Celeng. Masyarakat menamai desa ini karena di dalamnya terdapat mahakarya keagungan Sang Pencipta yang terbentuk secara alami.
Selain itu, agar dapat dimanfaatkan sebagai sebuah lokasi wisata, gua yang terdapat di Desa Banraas atau sekitar tiga kilo meter dari tepi pantai ini pun oleh warga setempat dibuatkan pagar bambu, tepat sekitar tiga meter dari mulut gua. Hal ini dilakukan agar hewan liar seperti celeng atau pun yang lainnya tidak bisa masuk.
Sebelum menjelajahi gua, sebaiknya wisatawan juga harus memperhatikan beberapa hal seperti membawa alat penerangan dan baterai cadangan, berpakaian yang nyaman, memakai sepatu, membawa perbekalan sendiri dan jangan lupa manfaatkan jasa pemandu.
Untuk mempermudah pengunjung dalam memasuki gua, pada salah satu bagian pagarnya juga diberi pintu masuk yang mudah untuk dibuka-tutup. Sementara itu, mulut gua sendiri memiliki bentuk setengah membulat dengan tinggi hingga ke langit-langitnya yang tak lebih dari 1,5 meter dengan jalur masuknya yang menurun serta sedikit terjal.
Baca : Dulu Tambang Pasir, Bilebante Kini Jadi Kawasan Pelesir
Saat memasuki mulut gua, wisatawan terpaksa harus merunduk 90 derajat untuk menaklukkan sebuah lorong sempit sepanjang sekitar lima meter. Punggung dan kepala juga pastinya lumayan terasa pegal-pegal karena harus merunduk selama beberapa menit.
Namun semua itu terbayarkan ketika memasuki ruang pertama yang lumayan luas seperti sebuah ruang pertemuan (hall) dengan langit-langitnya yang cukup tinggi, sekitar 4 hingga 5 meter. Dari sinilah, semua petualangan seru akan dimulai.
Kita pun akan langsung disuguhkan oleh keunikan koleksi bebatuan stalaktit dan stalagmit di dalamnya. Corak bebatuannya juga sungguh sangat khas dengan warna krem dan cokelat yang mendominasi.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Stalaktit merupakan bebatuan pada langit-langit gua yang bentuknya memanjang dengan ujung meruncing ke bawah. Selain itu, terdapat banyak lubang pada bagian-bagian stalaktit.
Stalaktit sendiri berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘menetes’. Artinya, pembentukan bebatuan menggantung ini berasal dari mineral kalsit atau kalsium karbonat yang mengendap serta mineral lainnya.
Endapan mineral-mineral tadi termasuk kalsit mewujud dalam bentuk larutan air yang setiap saat menetes perlahan dari sela bebatuan. Air ini juga akan meluncur mulus hingga ke ujung stalaktit dan jatuh ke dasar gua.
Tetesan air ke dasar gua ini yang berlangsung setiap saat dengan lama proses sejak jutaan hingga miliaran tahun akan menghasilkan stalagmit. Berkebalikan dengan stalaktit, stalagmit mempunyai proporsi yang lebih tebal dan tumbuh di dasar. Bentuk runcing stalagmit juga merupakan kebalikan dari stalaktit yang justru menjulang ke atas.
Di Gua Mahakarya ini juga kita masih bisa menjumpai sejumlah bagian dari stalaktit yang meneteskan air seperti yang terjadi di ruang pertama gua. Heningnya suasana di dalam gua membuat suara tetesan air dari stalaktit terdengar lumayan menggema.
Di salah satu sudut langit-langit ruang pertama ini, terdapat sebuah lubang besar berdiameter sekitar lima meter yang mengalirkan udara segar dan sinar mentari. Kehadiran lubang itu pun membantu ruangan menjadi lebih terang serta memasok udara ke dalam gua.
Baca : Ujung Genteng, Mutiara Tersembunyi di Pesisir Pantai Selatan Jawa Barat
Jika cuaca cukup bagus, sinar mentari yang menembus ranting-ranting pepohonan yang tumbuh di bagian atas sekitar lubang itu akan menghasilkan pendaran-pendaran indah ke dalam gua.
Di ruang kedua Gua Mahakarya, meskipun telah dipasangkan lampu bertenaga surya di beberapa bagiannya, kondisinya justru lebih gelap dari ruang pertama. Di sini kita bisa melihat ada stalagmit dengan beberapa bagian permukaannya berpendaran cahaya seperti bersinar kelap-kelip yang mirip sekali dengan bintang-bintang di langit saat malam.
Oleh masyarakat, batu-batu itu pun dinamai sebagai batu bintang. Kelap-kelip tadi berasal dari butiran-butiran berukuran mikro yang terperangkap pada lubang-lubang kecil seukuran ujung pentul korek api. Sebenarnya, stalagmit dengan pendaran cahaya mirip gugusan bintang ini merupakan bagian dari proses endapan mineral karena tetesan air dari kalsit yang menghasilkan mutiara gua atau cave pearl.
Selain itu, gua dengan koleksi bebatuan kalsit bak kelap-kelip bintang seperti ini juga bisa ditemui di Gua Pindul, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Nah, di ruang kedua ini kita juga dapat melihat sosok batuan stalagmit berjenis flowstone atau yang dikenal juga sebagai batu alir.
Batuan ini merupakan endapan dari kalsium karbonat, gipsum, dan bahan mineral lain yang terakumulasi dari miliaran kali tetesan air yang menetes secara perlahan ke permukaan atau dinding gua. Kandungan mineral yang termasuk kalsit inilah yang kemudian menyelubungi bongkahan batu atau tanah.
Batu alir di ruang ini sungguh unik, karena jika kita ketuk pada bagian-bagian tertentu terutama di permukaan bawahnya, maka akan keluar bunyi-bunyian bernada khas.
Bebatuan unik juga terdapat di ruang ketujuh yang menjadi ruang terakhir dari Gua Mahakarya. Meskipun lagi-lagi harus merunduk untuk memasukinya, di ruang terakhir ini kita akan merasa puas saat mengeksplorasi keindahan gua.
Di ruang ini juga terdapat sebuah batuan berwarna abu-abu berbentuk mirip beberapa manusia yang saling berangkulan. Kemudian tepat di ujung ruang ini, kembali kita akan menemukan lubang besar di langit-langit gua. Sebuah pohon besar juga turut tumbuh tepat di gundukan dengan batang pohon keluar dari gua.
Ketika siang hari dan cuaca sedang terik, sinar mentari dapat menembus ke dalam gua melewati sela-sela batang dan daun pohon. Sehingga cahaya itu pun mampu menghasilkan siluet indah berbentuk pendaran-pendaran sinar yang memukau. Di sinilah spot berfoto yang paling tepat bagi kita yang berkunjung ke Gua Mahakarya.*
Baca pula : Pesona Keindahan Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta