Humaniora

Jejak Ayam dari Hewan Kultural Hingga Mistisisme Masyarakat Jawa

×

Jejak Ayam dari Hewan Kultural Hingga Mistisisme Masyarakat Jawa

Sebarkan artikel ini
Jejak Ayam dari Hewan Kultural Hingga Mistisisme Masyarakat Jawa

 

Pancar.id – Ayam merupakan hewan yang sangat tidak asing lagi dalam keseharian masyarakat Indonesia. Hewan dengan nama latin Gallus domesticus ini juga bahkan memiliki nilai fungsional yang beragam bagi manusia.

Diketahui, hewan ini biasanya digunakan sebagai penanda pagi (membangunkan manusia), pemuas batin (hobi memelihara ayam), penghasil rupiah (ternak dan sabung ayam), pemenuh nutrisi hingga telur dan daging ayamnya dijadikan standar gizi dan keistimewaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

Dikarenakan beragam manfaat yang diberikan hewan inilah, ayam pun lantas berubah dari makhluk ekologis menjadi makhluk kultural. Jejak ayam menjadi hewan kultural ini juga tentunya tidak lepas dari domestikasi atau proses penjinakan.

Andrew Lawler dalam buku ‘Why Did The Chicken Cross The Wold?: The Epic Saga of The Bird That Powers Civilization’ menuliskan bahwa domestikasi ayam di kawasan Asia Selatan hingga Asia Tenggara terjadi sekitar 10.000 tahun lalu.

Sementara itu, Antropolog Amerika, Philip Passariello menyebutkan bahwa manusia memiliki subjektivitas dalam memaknai seekor satwa. Menurutnya, seekor hewan itu bisa dijadikan teman yang baik atau penyerang yang menakutkan dan hal ini tergantung dari penempatan hewan tersebut.

Kondisi inilah yang secara tidak langsung membuat setiap kultural memiliki banyak cara untuk berinteraksi dengan satwa, baik itu secara fisik maupun metaforik. Contohnya anjing yang dilahirkan dalam sifat buas, akan tetapi telah dimaknai sebagai ‘rekan’ sejak periode Mesolitik.

“Begitu juga dengan sapi yang berubah dari keliaran menjadi ternak, kendaraan, hingga simbol religius. Pada dasarnya, ayam pun mengalami pemaknaan sebagai simbol kejantanan (jago),” tulis Ani Rachmat dan Agusmanon Yuniadi dalam artikel ‘Simbolisasi Ayam Jago dalam Pembangunan Kultural Masyarakat Kabupaten Cianjur’.

Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata jago secara leksikon berarti ayam jantan. Namun istilah ini sendiri bisa berarti calon utama dalam sebuah pemilihan, juara atau kampiun. Begitu juga dalam bahasa Jawa, jago bagi mereka berarti ayam.

Sebagai makhluk kultural, ayam jantan bermakna kekuasaan, keperkasaan, atau bahkan kekuatan. Sedangkan pada tradisi mistisisme, ayam jantan mengarah kepada ranah mitos pembawa berkah, penanda kehadiran malaikat atau bahkan penghujung kegelapan.

Selain itu, popularitas ayam dibandingkan dengan simbolisasi hewan lainnya juga bisa dibuktikan dalam gelar raja Majapahit, yakni Hayam Wuruk ataupun juga julukan dari Sultan Hasanuddin, pahlawan dari Kesultanan Gowa di Makassar yang dipanggil Ayam Jantan dari Benua Timur.

Baca : Perkembangan Musik Indonesia dalam Lintasan Waktu

Istilah jago sendiri berakar dari kata sawung dalam bahasa sanskerta dan disematkan dalam nama-nama legendaris, seperti Sawung Galing, Sawung Jabo dan Sawung Geni. Interpretasi dan representasi nama ini tentunya menyamai karakter perkasa, maskulin, dan pemberani.

“Singkatnya simbolisasi ayam jantan dalam kebudayaan Indonesia pun telah terjadi sejak zaman peradaban Hindu-Buddha dengan orientasi signifikansi keperkasaan, kekuatan, dan keberanian,” jelas Tri Asiati dalam jurnal ‘Sisi Historis dan Sisi Kultural Simbolisasi Ayam Jantan dalam Lintas Budaya’.

Sementara itu, secara historis, simbolisme terhadap ayam juga memang menghadirkan pemaknaan yang sakral sebagai sebuah representasi kekuatan. Tak hanya itu saja, ayam pun menjadi hewan yang sering diadu sebagai simbol kemegahan kekuasaan.

Anthony Reid dalam ‘Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin’ menggambarkan kebiasaan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang sering mengadakan pesta-pesta kerajaan sebagai simbol kemegahan dan kebesaran kerajaan.

Segala macam momen seperti penobatan raja, perkawinan, penguburan, ritus memasuki masa usia dewasa, pesta keramaian agama, upacara kesuburan, serta penerimaan tamu luar negeri pun diperingati dan dilaksanakan secara besar-besaran.

Sementara dalam hiburan, ayam juga digunakan sebagai media pertunjukan pertarungan satwa untuk ajang adu kekuatan. Misalnya saja dalam tradisi sabung ayam yang terjadi di masyarakat Jawa atau Bali.

Thomas Stamford Raffles dalam ‘The History of Java’ menyebutkan bahwa sabung ayam dan adu burung puyuh menjadi perlombaan yang sangat umum dilakukan masyarakat biasa.

“Sabung ayam menjadi pesta yang sering dilakukan di setiap kota-kota kecil dan pasar,” jelasnya.

Di sisi lain sumber tertulis tertua menyebutkan bahwa sabung ayam sudah dipraktekkan masyarakat Bali sejak abad ke 10, seperti yang digambarkan dalam Prasasti Sukawan dan Prasasti Batur Abar. Oleh karena itulah sabung ayam bagi masyarakat Bali bukan sekadar judi.

Sementara di Jawa, adu ayam telah dilakukan sejak abad ke 11 Masehi yang termuat dalam Serat Jago, dengan cerita Cinderalas yang terkenal. Bahkan kebiasaan ini juga bisa lebih jauh lagi dilakukan jika merujuk pada folklor Ciung Wanara dengan latar Kerajaan Galuh pada abad ke-8 Masehi.*

Baca pula : Di Sumbawa, Kambing Berubah Jadi Omnivora

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!