Pancar.id – Guna menghaturkan rasa syukur, ada banyak cara yang bisa dilakukan baik dengan tindakan atau lewat tutur. Biasanya, orang melakukannya ketika mendapat karunia atau rezeki, tak terkecuali ketika memiliki rumah baru.
Sebagaimana diketahui, Indonesia punya sejumlah budaya atau kebiasaan ketika akan menempati rumah baru. Jika masyarakat Bugis-Makassar mengadakan upacara Mabedda Bola dan menggambar rumah baru dengan telapak tangan, maka lain lagi dengan masyarakat Jawa yang memiliki tradisi bernama Slup-slupan. Tradisi ini masih dapat ditemui di Desa Sangiran.
Dianggap sebagai Penanda Awal Sekaligus Momen Sakral
Sangiran, tidak hanya terkenal punya situs manusia purba yang diakui UNESCO, kawasan ini masih disorot sebab masih memegang teguh banyak tradisi yang telah ada secara turun-temurun dan menjadi warisan budaya dari nenek moyang. Salah satunya ialah tradisi Slup-slupan.
Bagi masyarakat di Dusun Ngampon ini, momen pindah rumah dianggap sebagai penanda awal sekaligus pengharapan guna penghuni diberikan keselamatan ketika menghuni rumah baru tersebut. Secara khusus, tradisi Slup-slupan ini dianggap sebagai momen sakral.
Prosesi Slup-slupan dimulai dengan mengundang keluarga besar dan sejumlah tetangga yang masih termasuk ke dalam satu dusun. Begitu tamu undangan telah hadir, sesajian alias uborampe berupa nasi dengan lauk-pauk diletakkan di tengah para tamu undangan dan didoakan bersama-sama. Setelahnya, ubarampe dibagikan dan dinikmati secara bersama-sama.
Hal yang membuat Slup-slupan berbeda dengan tradisi selamatan lain adalah adanya ritual khusus yang tak boleh dilewatkan. Ada orang, biasanya pemilik rumah, yang akan memegang sapu lidi untuk menyapu serta memegang lampu minyak berikut tempat air. Dua orang tersebut akan berdoa di muka rumah dan mengitari rumah sembari menyapu dan menyirami sekeliling rumah dnegan air.
Baca : Manten Kucing, Ritual Meminta Hujan Ketika Tanah Kering
Prosesi itu dimaknai agar rumah menjadi adem dan tenteram. Sementara sapu lidi berikut proses menyapunya mengandung filosofi bahwa semua kotoran, baik kotoran fisik maupun psikis, yang ada sebelumnya kini menjadi tiada. Lampu minyak yang dibawa oleh orang yang menyiram dimaksudkan agar pemilik rumah mendapat pencerahan dalam mengarungi hidup dan kehidupan.
Selain prosesi tadi, terdapat kegiatan memasang kelapa, padi, dan tebu di bagian tengah atap rumah. Hal itu ditujukan agar pemilik rumah memperoleh penghidupan yang baik sehingga kehidupan mereka terjamin.
Sebelum mengalami modernisasi dan disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, tradisi ini menggunakan kembang setaman yang dikombinasikan dengan kemenyan sebagai pelengkap sesaji ubarampe. Tetapi kini, penggunaan kemenyan telah ditiadakan. Meski ada satu hal yang tidak boleh dilewatkan dari kebiasaan ini adalah pelaksanaan ritualnya yang memerhatikan hari baik sesuai penanggalan Jawa.
Tidak Hanya Berlaku untuk Menghuni Rumah
Ketika membahas Slup-slupan di zaman yang lebih modern seperti sekarang ini, tradisi ini tidak hanya digelar untuk momentum menghuni rumah baru. Tetapi juga berlaku untuk menempati bangunan lain semisal lokasi kerja.
Dalam segi pelaksanaannya, tidak ada bedanya dengan prosesi untuk menempati rumah baru. Hanya saja, pelaku dalam mempraktikkan Slup-slupan untuk mensyukuri lokasi kerja ini berjumlah lebih banyak. Para partrisipan mengenakan baju adat Jawa berupa beskap untuk lelaki dan kebaya untuk perempuan, mereka membawa air kendi dengan tanaman akar wangi.
Ketika tiba di kantor baru, air yang telah dicelup akar wangi ini kemudian dicipratkan ke sudut-sudut kantor sembari memanjatkan doa agar tempat tersebut diberkahi. Namun setelah mengalami modernisasi, ubarampe juga berubah menjadi nasi tumpeng yang disertai lauk-pauknya. Hingga kini, tradisi ini dipandang sebagai tirakat masyarakat Jawa yang lazim dilakukan.
Baca pula : Hasri Ainun Besari dan Kisah Cinta yang Abadi