Humaniora

Manten Kucing, Ritual Meminta Hujan Ketika Tanah Kering

×

Manten Kucing, Ritual Meminta Hujan Ketika Tanah Kering

Sebarkan artikel ini
Manten Kucing, Ritual Meminta Hujan Ketika Tanah Kering

 

Pancar.id – Bagi sebagian kalangan, hujan selalu dikaitkan dengan kopi, puisi, dan sisa genangan
yang membekaskan kenangan. Bagi sebagian wilayah, curah hujan yang tinggi
mungkin dapat menjadi masalah. Tetapi bagi daerah yang masih merasakan
kekeringan yang berimbas pada aktivitas sehari-hari, hujan dinanti-nanti dan
diundang dengan cara menggelar tradisi. Sebut salah satunya ialah Desa Pelem,
Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

Desa Pelem
memiliki tradisi manten kucing, atau memandikan dua kucing, yang merupakan
warisan budaya dan memiliki fungsi sosial sebagai wujud rasa syukur atas berkah
yang dilimpahkan Allah Ta’ala. Secara demografi, sebanyak 70 persen penduduk di
desa tersebut memang berprofesi sebagai petani dengan sistem pertanian yang
masih berupa sistem tadah hujan. Sehingga hujan menjadi salah satu yang vital
dan bermakna besar dalam siklus kehidupan.

Prosesi tradisi
dimulai dengan pemilihan dua kucing yang diambil dari dua dukuh yang berbeda.
Biasanya kucing yang dipilih adalah sepasang kucing candramawa. Kucing
candramawa sendiri adalah kucing yang punya unyeng-unyeng di bagian kepala dan
dada. Konon, kucing seperti ini dapat membawa kemuliaan dan keberuntungan.

Kedua kucing ini
dipertemukan di balai desa setempat dan diarak menuju sumber mata air di bukit
Coban Kromo. Sumber mata air tersebut diamini sebagai tempat bersemayamnya
arwah para pendiri desa.

Sepanjang jalan,
kucing ini akan digendong oleh seorang lelaki dan perempuan menggunakan jarit. Warga
desa yang mengikuti dari belakang akan mengiringinya dengan bermacam kesenian
khas Tulungagung.

Setelah tiba di
lokasi dan hendak memandikan kedua kucing, para sesepuh desa akan berdoa di
tempat yang mereka yakini sebagai pusara pendiri desa. Baru setelahnya proses
memandikan kucing dilakukan oleh kepala desa.

Air yang
digunakan dalam prosesi ritual manten kucing berupa air telaga dengan paduan
kembang setaman yang sebelumnya telah dipersiapkan. Usai dimandikan, baru kedua
kucing tersebut diarak kembali menuju lokasi pelaminan. Dimana dalam pelaminan
tersebut telah disiapkan ubarampe. Kedua kucing tersebut dipertemukan dan
keduanya berada di pangkuan sepasang lelaki dan perempuan yang juga mengenakan
pakaian pengantin.

Ritual
dilanjutkan dnegan prosesi selametan, pembacaan doa dalam bahasa Jawa atau
ujub, dan kemudian diakhiri dengan tiban. Tiban merupakan tarian yang dimainkan
dua lelaki bertelanjang dada dengan mencambuk satu sama lain menggunakan lidi
aren.

*Telah Ada Sejak
Zaman Belanda dan Lahir dengan Tidak Sengaja*

Tahun 1926,
bertepatan pada masa penjajahan Belanda, kemarau panjang melanda Desa Pelem dan
menyebabkan para penduduk tak dapat melakukan pekerjaannya. Ketergantungan
penduduk dan sistem tani pada air hujan memang sedemikian besar. Saat itu,
memang belum ditemukan irigasi seperti sekarang ini.

Tradisi manten
kucing lahir secara tidak sengaja oleh peristiwa tersebut. Sebab pada satu
ketika, sesepuh desa bernama Eyang Sangkrah mandi di telaga dekat air terjun
Coban bersama sepasang kucing. Seketika turun hujan yang mampu mengakhiri musim
kemarau panjang tersebut.

Saat itu penduduk
menyebutnya ngedus kucing, bukan manten kucing. Penduduk juga tidak menganggap
tradisi ini sebagai ritual sebab tidak ada tata cara khusus dalam
melaksanakannya. Apa yang dilakukan oleh Eyang Sangkrah pun sangat sederhana;
hanya mandi bersama sepasang kucing tanpa doa atau sajen yang mengiringinya.

Ketika masa
Demang Sutomedjo, keturunan Eyang Sangkrah, istilah ritual manten kucing ini
muncul. Saat itu dia menjabat sebagai kepala desa dan pada masanya kembali
terjadi kemarau panjang. Penduduk kemudian mengajukan prosesi ngedus kucing.
Namun suatu ketika, dia mendapat wangsit guna menggelar ritual ngedus kucing
yang dibarengi tata cara pelaksanaan. Dengan wangsit tersebut, dilakukan
prosesi manten kucing.

Dalam manten
kucing, pemimpin dan yang berhak memutuskan penyelenggaraannya hanyalah
keturuan Eyang Sangkrah. Jika tidak, dapat menjadi bumerang bagi kelangsungan
manten kucing.

*Dari Sakral
ke Profan, Polemik Keagamaan, dan Mulai Ditinggalkan*

Mulanya, ritual
manten kucing ini adalah ritual yang sakral. Namun dalam perkembangannya
berangsur menjadi profan berkat pertimbangan dan upaya Nugroho Adi, keturunan
Eyang Sangkrah yang menjabat sebagai kepala desa tahun 2001. Dia membuat manten
kucing menjadi pagelaran budaya sehingga dapat disaksikan orang banyak.

Perjalanan
Nugroho membumikan budaya ini tidaklah mudah. Dia mengikuti beragam pentas seni
daerah sebelum budaya ini tenar pada tahun 2003 dan dipilih sebagai representasi
kebudayaan Tulungagung.

Puncaknya,
ketenaran ritual ini terjadi tahun 2005 ketika Dinas Pariwisata Jatim menunjuk
manten kucing untuk mewakili kebudayaan Jawa Timur di Taman Mini Indonesia
Indah, Jakarta. Namun lima tahun kemudian, budaya ini mengalami anti-klimaks.

Bertepatan dengan
hari jadi Kabupaten Tulungagung, pemerintah mengadakan festival manten kucing
dan mengharuskan semua kecamatan menampilkan ritual tersebut. Dari semua yang
tampil, ada satu yang menyisipkan unsur-unsur Islam dalam penampilannya. Hal
tersebut memancing kecaman keras dari MUI setempat dan berbuntut panjang pada
pelarangan kesenian tersebut.

Sejak saat itu,
budaya manten kucing mulai kehilangan suara. Selain karena pengaruh agama,
perkembangan teknologi untuk suplai air dan perubahan komoditas pertanian pun
membuat budaya ini kian kehilangan eksistensi.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!