Pancar.id – Di balik seorang tokoh, selalu tersembunyi peran dua perempuan; ibu dan istri. Barangkali benar adanya ungkapan Habibie tersebut. Sebab tatkala mendengar nama Habibie, tentu tidak akan lepas romansanya dengan sang istri, Hasri Ainun Besari.
Kesetiaan Habibie kepada sang istri kerap dijadikan falsafah oleh banyak kalangan dan digadang-gadang sebagai tipe lelaki idaman oleh para perempuan. Tetapi yang kadang dilupakan, kesetiaan tersebut tidak serta merta timbul begitu saja dalam benak lelaki tanpa andil perempuan itu sendiri. It takes two to tango, kalau kata orang bule.
Hasri Ainun Besari atau yang dikenal dengan nama Ainun Habibie, adalah anak keempat dari delapan bersaudara. Dia lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 11 Agustus 1937. Putri H. Mohammad Besari ini menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Bandung. Sekolahnya di tingkat SLTP bersebelahan dengan sekolah Habibie dan bahkan mereka mengenyam pendidikan di sekolah yang sama ketika SLTA.
Saat itu, Habibie adalah kakak kelasnya. Namun karena keduanya sama-sama siswa yang cemerlang, Gouw Keh Hong, guru ilmu eksak, sering berkelakar dan menjodoh-jodohkan mereka berdua.
Ini menarik kalau Hasri jadi dengan Habibie. Jika mereka jadi suami istri, anaknya bisa pintar-pintar, kelakar Gouw sebagaimana tertuang dalam Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan di Mata Orang-orang Terdekat garapan A. Makmur Makka.
Kendati di-ceng-cengin, Habibie justru belum memiliki ketertarikan pada Ainun dan tak jarang meneriaki Ainun dengan sebutan Si Gula Jawa sebab kulitnya yang berwarna kecokelatan. Keduanya tidak memiliki kedekatan yang khas, bahkan hingga mereka lulus dan melanjutkan studi masing-masing.
Habibie meneruskan pendidikan ke ITB lalu pindah ke Jerman Barat. Sementara Ainun merantau ke Jakarta untuk meneruskan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan tamat sebagai dokter pada tahun 1961. Bermodal ijazah kedokteran, Ainun bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dan bekerja di bagian perawatan anak-anak.
Kemudian pada Januari 1962, Habibie mendapat cuti dua bulan yang dimanfaatkannya dengan mengunjungi makam sang ayah di Makassar. Masa libur inilah yang mengawali romansa mereka berdua.
Di Depan Teras Rumah, Cinta Jatuh dan Merekah
Habibie diantar saudaranya berkunjung ke kediaman Besari di Bandung. Dalam waktu yang sama, Ainun pun pulang kampung karena sakit. Saat kembali melihat Ainun, Habibie langsung jatuh hati dan gercep karena tahu dia tidak punya banyak kesempatan.
Durasi cuti Habibie memang tidak lama, karena itulah mereka mengusahakan saling bertemu hingga akhirnya Ainun dilamar oleh Habibie di sebuah tanah lapang, Ainun, kamu mau menerbangkan pesawat ini bersama denganku, menjadi pendamping cita-citaku?. It sounds so sweet, right?
Ainun menerima lamarannya dan sejak itu Habibie rutin mengantar-jemputnya menggunakan becak. Mereka berpacaran dalam durasi yang singkat sebab pada 12 Mei 1962, keduanya melangsungkan pernikahan dan pindah ke Jerman. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga dari nol. Benar-benar dari nol sebagaimana yang sering dilontarkan operator SPBU ketika mengisi bensin.
Badai atau Gerimis, Cinta Habibie-Ainun Tetap Ritmis
Di Jerman, mereka bermukim di rumah susun di luar Aachen, Jerman. Sebagaimana tertulis dalam buku berjudul Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan di Mata Orang-orang Terdekat, tiga setengah tahun pertama merupakan waktu yang menantang bagi Ainun. Di samping Habibie yang berpenghasilan pas-pasan, Ainun didera kesepian dan keterasingan di negeri orang itu. Dia tidak punya teman sebab Habibie bekerja hingga larut malam agar mendapat promosi kerjaan.
Habibie pulang pukul 11 malam dan lanjut menulis disertasi. Setiap hari, dia naik bis ke tempat kerja dan seringkali berjalan kaki sejauh 15 km ketika sedang kekurangan uang untuk kartu langganan bis. Perjalanan jauh itu tak ayal membuat sepatunya jebol, dia baru akan menambalnya ketika musim dingin. Problematika transportasi itu juga dirasakan Ainun yang saat itu tengah hamil dan hendak memeriksa kandungan.
Asuransi kesehatan pun terbilang tinggi. Untuk menambah penghasilan, Habibie bekerja sebagai ahli konstruksi di pabrik kereta api Waggonfabrik Talbot. Sementara Ainun meminimalisir pengeluaran dengan menjahit dan memperbaiki baju musim dingin sekaligus membuat pakaian bayi. Ainun harus melakukan segala sesuatu sendiri agar suaminya bisa memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya.
Hidup yang berat, tapi manis. Terutama ketika dalam keterbatasan finansial itu, anak pertama mereka lahir pada 1963 dan menyusul empat tahun kemudian anak kedua mereka lahir. Ainun mendidik dan merawat anak-anaknya sejak kecil.
Peran Ainun mendampingi Habibie dapat dilihat dalam segala hal. Sejak Habibie menjadi teknorat, dia selalu menjadi sosok yang mengurusi Habibie dari belakang layar dan menjadi pengingat bagi Habibie yang kerap lupa waktu. Hingga pernah dalam suatu acara dimana Habibie menjadi penceramah dan mendapat isyarat dari Ainun, Habibie berkata, Saya akhiri ceramah ini, saya sudah diperingatkan oleh Ainun.
Namun badai menerpa Habibie ketika Ainun divonis mengidap kanker ovarium dan meninggal pada 24 Maret 2010. Selama sakit, Habibie tidak sejengkal pun meninggalkan Ainun. Begitu pula ketika Ainun meninggal. Selama 100 hari pertama, Habibie selalu berkunjung ke makam istrinya. Bahkan setelahnya rutin ziarah seminggu sekali.
Duka atas kehilangan itu membuat Habibie menderita psikosomatis dan jika Habibie tidak melakukan apapun terhadap tubuhnya, dia kemungkinan bisa menyusul Ainun dalam waktu tiga bulan saja. Maka Habibie menyalurkan duka itu lewat menulis. Dia kemudian melahirkan buku berjudul Habibie & Ainun yang terbit di bulan November, tahun yang sama.
Habibie mengaku bahwa cintanya pada Ainun tak terpisah oleh maut. Sebagaimana yang dia ungkapkan, Antara saya dan Ainun, adalah dua raga namun dalam satu jiwa.
Dan dalam wawancara bersama Najwa Shihab, Habibie dengan lugas menyebut, Saya tidak lagi takut mati karena andaikan sampai waktunya nanti, saya tahu yang akan menemui saya pertama adalah Ainun.
Setelah melewati hari-hari tanpa Ainun, pada 11 September 2019, Habibie mengembuskan napas terakhirnya dan menyusul Ainun dalam keabadian.
Romansa antara Habibie-Ainun memang sangat menginspirasi sekaligus merepresentasikan namanya; Habibie adalah cinta dan seorang pencinta yang sungguh-sungguh. Penuh dan
menyeluruh.